Alea tersengal. Dia
tahu sekarang. Mile bukanlah seorang manusia. Dia seorang penjahat kejam. Alea
meringis ketika kepalanya diputar oleh Milea. Dirinya diangkat tinggi-tinggi
dengan satu tangan. Tatapannya bengis. “Terimakasih sudah membebaskanku.”
Dengan susah payah, Alea
membalas, “Ap-pa maksud-mu?”
“Ya, kau membebaskanku,”Mile
menjilat bibir keringnya. “Tapi aku butuh darah.”
***
Februari 2002, di
rumah sakit kota.
“Kau tahu, Alea?”Ilan berkata
dengan tergesa, napasnya tersengal-sengal. Dia menghirup napas dari tabung
oksigen di ruangan putih tersebut. “Aku ber-mimpi. Mimpi per-tamaku di rumah
sakit. Di mim-pi itu, Ayah be-berkata, ‘aku memakukan kakinya sebab itu dapat
mengurungnya’. Da-dan aku berpi-pikir ka-llau ya-yang di-makh-sud ayah...”
Belum selesai bicara, Ilan sudah
kehilangan kesadaran. Alea memeluknya sambil menangis, panik memencet tombol
pemanggil perawat. Butuh lima detik sebelum perawat-perawat berdatangan. Butuh
sepuluh detik sebelum Ilan benar-benar dinyatakan pergi oleh dokter.
Tinggallah Alea terisak
sendirian di lorong lengang rumah sakit raksasa itu.
***
Alea dibanting lagi. Dia
benar-benar lemas, tubuhnya sakit semua. Kepalanya berputar.
***
Juli 2017, di
kelas.
Alea mengayunkan sapunya.
Debu-debu berterbangan. Alea mengeluh. Hari ini jadwal piketnya bersama Mile.
Sebetulnya Rio juga piket, tapi dia hilang entah kemana.
Sekelebat bayangan melewati
punggung Alea. Alea merasakan punggungnya panas. Dia menoleh, dan mendapati
Mile berubah menjadi monster mengerikan. Dia mengangkat pisau ke arah Alea.
Tanpa berpikir panjang, Alea menghantamkan sapunya ke kepala Mile, lalu lari
secepat kilat ke samping sekolah.
Dia tak mempedulilkan
orang-orang yang menatap heran, yang jelas kakinya terus berpacu. Hingga
memasuki hutan pinus.
***
Alea mengerjapkan mata. Dia
tahu. Dia tahu kelemahan Mile. Aku harus
mengalihkan perhatiannya.
“Alea. Ada salam
terakhir?”Mile mendongakkan wajah Alea dengan satu tangan. Sedang tangan
lainnya mengangkat pisau tinggi-tinggi.
Alea menggigit
bibir, mengumpulkan tenaga.
Mile mendekatkan
wajahnya ke Alea. “Tidak ada? Apa kau yakin?”
Klontang! Pisau
itu ditendang Alea jauh-jauh, dengan sisa tenaganya. Mile meraung marah. Dia
melompat untuk mengambil pisaunya diantara semak-semak. Alea, dengan cepat
menggulingkan diri, menjauh. Dia meletakkan bandul kalungnya tadi di tanah,
merenggut pin dari bajunya, dan dengan cepat menusukkannya ke kaki boneka itu.
Mile yang berhasil
menemukan pisau tadi, dengan cepat berusaha menusukkan pisau itu. Tapi,
bersamaan dnegan Alea yang menusukkan jarum kedua, Mile menghilang, bak bubuk
yang ditiup angin.
Lepas itu, Alea
merasa tubuhnya tidak berdaya. Diiringi dengan embusan angin melalui sela pohon
pinus, matanya terpejam.
0 komentar:
Posting Komentar