“Keira, kamu nggak papa?”
Wajah
Keira memucat. Matahari yang bersinar terik membuat keringat sebesar biji
jagung mengalir melewati pelipisnya. Dia menyekanya.
“Biar
aku antar pulang ya?”
Keira
tercekat. Mendengar kata pulang, di benaknya langsung terngiang mamanya, atau
lebih tepatnya wanita yang memaksa
dipanggil mama yang membentak-bentak Ace dan ia tadi pagi. Mama itu bahkan melempar piring pada
Ace. Dan saat Keira menggapainya, piring yang lain menyusul ‘terbang’.
Pecahannya menggores lengannya, tapi dia bersyukur Ace baik-baik saja. Keira
merasa frustrasi saat di rumah, dan ia jadi membenci kata pulang. Ia ingin lari
dari kehidupannya. Ia ingin lari dari mamanya yang menjemukkan.
Ia
beruntung bisa mengantar Ace hingga selamat ke taman kanak-kanaknya pagi itu. Setidaknya,
guru-guru Ace bisa menjaga Ace hingga waktu pulang tiba.
Tunggu, mata
Keira membulat. Hari ini ia ada kegiatan ekstrakulikuler hingga sore, dan taman
kanak-kanak Ace tutup pada jam dua siang. Bagaimana bila guru Ace menelepon ke
rumah, lalu mama menjemput Ace?
Bolos.
Keira
tergugah. Ya, bolos adalah satu-satunya jalan yang paling tepat. Ia akan bolos
ekstrakulikuler, bahkan ia akan bolos pada pelajaran terakhir. Demi Ace.
“Keira!”
Keira
mengerjapkan mata. Lamunannya buyar.
“Y-Ya?”
“Kamu
pasti sakit banget, sampai melamun gitu,”Tsabita mencondongkan badan dengan
ekspresi khawatir. Ia menempelkan punggung tangannya pada kening Keira. “Tuh
kan! Sepertinya kamu demam.”
“Pulang
saja Kei, ketimbang kamu pingsan di sekolah,”Zara mengibaskan topi upacaranya. Ia
menggamit lengan Keira, “Ayo minta ijin ke BK.”
Saat
Keira berpikir bahwa tidak mungkin BK yang kejam itu memperbolehkannya pulang,
Tsabita menarik mereka dengan bingung. “Zara, ruang BK di sebelah sana. Kamu
melawan arus.”
Zara
berbalik, menyeringai. “Ayolah, jangan bilang kau berpikir aku akan ke BK
sungguhan.”
“Apa?
Lalu, kemana?”Tanya Keira.
Zara mengedip, “Ikuti saja aku.”
***
“LARI, KEIRAA! TERUSLAH
BERJUANG!”Tsabita berteriak. “JANGAN MENGKHAWATIRKAN APAPUN, LARILAH!”sekarang
suaranya seperti tikus terjepit pintu.
Keira terengah-engah, menoleh ke
belakang. Jantungnya semakin berpacu ketika melihat Mang Edi, satpam
sekolahnya, berhasil menangkap Tsabita. Keira menggigit bibir, mempercepat
lajunya. Ia mengeluh dalam hati, kenapa baru beberapa meter mereka sudah
tertangkap. Lagipula, bagaimana mang Edi tahu kalau mereka lari dari sekolah?
Padahal mereka sudah berhati-hati memanjat pagar. Banyak hal berkecamuk di pikiran
Keira sementara kakinya terus berderap. Beberapa detik kemudian, ia mendengar
jeritan Zara. Keira memalingkan muka ke belakang. Mang Edi telah berhasil
meraih tas Zara.
“Zara!”Keira melotot, memperlambat
lari. Zara menendang tangan Mang Edi yang menarik tali ranselnya, tapi Mang Edi
malah menangkap sepatunya yang terlepas ke udara. “Oh my Gosh, sepatu dua
jutakuuu!”Zara menggapai sepatunya.
“Nanti saya kembalikan di sekolah!”seru
mang Edi. Zara mengerucutkan bibir. Tapi sejurus kemudian ia menghadap Keira,
membentuk toa dengan kedua tangannya,
“LARI, KEIRA! BIARKAN AKU DAN
TSABITA DIGELANDANG KE BK! KAMI BAIK-BAIK SAJA, PERCAYALAH!”teriakan Zara
mengambang di udara sekitar Keira. Keira seperti dikejutkan dengan listrik, ia
menyadari tak ada gunanya menyerahkan diri untuk dibawa ke BK. Ia harus
berlari, menghindari mang Edi, dan menjemput Ace.
Maka Keira sudah berlari lagi
sepersekian detik kemudian, sengaja melewati pasar yang ramai. Tentu saja mang
Edi susah mengejarnya. Mang Edi memperingatkan hukuman yang akan diterima, tapi
Keira tidak peduli. Ditangkap sekarang
atau nanti, aku tetap akan dapat hukuman, kok.
***
Keira
sampai di sekolah Ace setengah jam kemudian dengan kondisi mengenaskan.
Kulitnya berminyak karena keringat. Belum lagi rambutnya. Ia mengikat rambut
dengan asal-asalan sebelum masuk ke sekolah Ace.
Ketika
berbelok di sebuah lorong, Keira tertegun. Ace digandeng orang lain. Langkahnya
riang, hingga tas birunya seakan ikut melompat-lompat. Tangannya mengepal.
Tidak boleh ada orang yang menyentuh Ace-nya.
Setelah
ini, Keira akan memikirkan bagaimana caranya lari bersama Ace, tapi sekarang
Ace malah digandeng orang lain.
Keira
maju, menghampiri Ace dan orang itu dengan marah. Ia menarik Ace hingga
genggaman orang tadi terlepas. Keira langsung memeluk Ace erat-erat. “Maaf, ini
adik saya dan Anda tidak berhak—”
Suara
Keira tersangkut di tenggorokan begitu ia menengadah. Rahangnya terasa jatuh.
Lututnya melemas hingga ia jatuh terduduk.
Di
depannya berdiri orang itu. Orang yang ia pikir asing sama sekali, tapi
nyatanya tidak. Lihatlah, lihatlah mukanya. Mukanya begitu mirip dengan Keira.
Seperti Keira di masa depan. Perbedaanya hanyalah pada kerut-kerut wajah,
karena factor usia. Bahkan tinggi mereka sepantaran.
“Kau—”Keira
terbata-bata. “Papa bilang kau sudah meninggal.”
“Keira, ya?”Air mata menggenang di
mata Keira versi dewasa itu. “Kau bilang kau adalah kakaknya Ace, kan? Berarti,
kau Keira, ya?”suara lembut itu menggetarkan hati Keira. Napas Keira tersendat.
Suara itu…. Sama dengan suara di teddy bearnya. Suara yang sama ketika Keira
menekan bentuk hati pada Teddy Bearnya. Suara yang selalu didengarnya sebelum
tidur. Suara yang mengatakan ‘I love you, my Baby Bear’ berulang-ulang.
Suara yang kata Papa, adalah suara
mama aslinya.
Keira masih tidak bergerak.
Pikirannya kalut.
“Mama,”Ace membebaskan diri dari
pelukan Keira, dan memeluk ‘Keira dewasa’ itu, sementara si Keira dewasa sibuk
menyeka air matanya sendiri, terisak memeluk Ace.
Ta-tapi, mengapa Ace kelihatannya
dekat sekali dengan orang itu?
“Ma-Mama
menjadi guru TK disini,”si Keira dewasa masih menyeka air matanya yang terus
keluar. “Sejak awal Mama merasa ada sesuatu pada Ace. Mama pernah mengikutinya
saat pulang, dan ternyata betul dugaan Mama, Ace adalah anak Mama yang dibawa
Papamu. Papamu tahu Mama disini dan mengijinkan Mama bersama Ace terus. Dan
Mama selalu bersama Ace di sekolah, Mama barumu mengetahuinya,”penjelasan
mengalir dari Keira dewasa itu. Ia mengelus pipi Ace dengan sayang, sementara
Ace mulai tertidur di pangkuannya. “Tapi Mama tidak pernah menduga akan bertemu
denganmu. Papamu melarang Mama menemani Ace saat menunggu jemputannya.”
Keira
meneguk ludah. Sulit baginya untuk memercayai semua ini. Yah, meski wajahnya
mirip sekali dengan wajah mama itu.
“Ternyata,
kamu sudah besar sekali sekarang. Tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar. Mama
bangga,”mama tersenyum tulus, menghapus sisa air matanya. Keira menggigit
bibir. Hatinya meronta ingin memeluk mamanya, tapi tangannya berat sekali,
tidak mau bergeser sesentipun.
“Maafkan
Mama, tidak bisa mendampingimu tumbuh. Maafkan Mama, tidak bisa mengambil hak
asuh dari Papamu,”mata mama basah kembali. “Maafkan Mama… hanya bisa menemani
lewat Teddy Bear itu.”
Kalimat
terakhir mendorong tubuh Keira maju. Tiba-tiba saja Keira sudah memeluk
mamanya, erat, dan menangis di lengannya. Beban pikirannya mengalir perlahan
lewat air matanya.
“Ma…
ijinkan aku tinggal denganmu,”bisik Keira.
“Tentu
saja, Baby Bear.”
Kalimat
terakhir mama membawa beban terakhir Keira pergi. Keira tersenyum, memeluk
mamanya lebih erat. Ia tidak perlu lari kemanapun juga kali ini. Ia akan aman
bersama mamanya.