Alea memaksakan kakinya untuk
tetap berlari. Dia berlari secepat yang dia bisa, sambil berusaha mengontrol
napas. Inhaler yang sudah dia pasang di depan hidungnya tidak ada pengaruhnya,
karena toh Alea bernapas dengan mulut. Alea merasa putus asa. Napasnya makin
pendek-pebnmmndek. Pandangannya mulai buram.
“RRRRR,”
“Please, jangan.
Jangan.”Alea komat-kamit. Dia makin mempercepat larinya, meski rasanya jantung
mencelos, siap meledak. Dia sudah melewati banyak sekali pohon pinus hari ini.
Awalnya dia takut tersesat, tapi apa daya. Tanpa dia sadari, kakinya terbelit
pada sebuah sulur pohon dan otomatis dia terjatuh.
Bruk!
“Tuhan,”keluh Alea. Inhalernya
menggelinding jauh. Air matanya keluar,
bercampur keringat yang menderas. Dia benar-benar tidak kuat. Asmanya begitu
kuat mengikat paru-parunya. Dia menunduk, berusaha mengontrol napas. Sebuah
boneka berbentuk panda lusuh yang dia jadikan bandul kalung terjatuh. Alea
mencengkram boneka itu, berusaha berdiri. Dia bisa merasakan derap kaki itu
bertambah suaranya, mendekat. Alea yang akan berlari jatuh lagi. Ah, kakinya
masih terbelit sulur. Dengan tergesa, ditariknya sulur itu, tapi tangannya
malah berdarah oleh sulur tajam tersebut.
“RRAAAAA!”tiba-tiba sebuah
tangan mencekik lehernya, kuat. Alea makin kehabisan napas. Dia megap-megap
ketika tubuhnya dibanting dalam satu gerakan.
“Jangan, Mile. Jangan...”Alea
terisak. Mile, orang yang mencekik lehernya tadi menghunuskan pisau. Hidupnya
benar-benar di ujung tanduk.
“Mile, tolong...”Alea mengusap
keningnya. Dia menyeka matanya, menunduk. Jangan lihat, Alea. Lebih baik
mati melihat tanah, daripada melihat mata pembunuh itu. Alea mengepalkan
tangannya, dan menyadari bahwa boneka tadi teremas. Alea tertegun menatap
boneka itu. Lebih tepatnya, kaki boneka itu. Kaki itu berlubang, terlihat bekas
kekuningan di sekitar lubang itu. Lubang itu....
***
Desember 1998.
“Tangkap bola ini!”Ilan, kakak
Alea melemparkan bola karet yang lentur. Alea kecil melompat tinggi-tinggi,
tapi bola itu tidak tertangkap olehnya. Malah, bola biru itu melewati jendela
gudang rumah mereka dan masuk gudang. Terdengar bunyi kelontangan.
“Alea payah.”Ilan bergegas masuk
gudang, namun dia dihalangi Alea.
“Kata Ayah, kita dilarang masuk
gudang,”dengan mata besarnya, Alea membentangkan tangannya.
“Tapi bolanya masuk. Sudahlah.
Ayah melarang kita dua tahun yang lalu. Waktu itu aku masih kecil. Karena
sekarang aku sudah besar, aku berhak masuk gudang itu,”kata Ilan congkak.
Kepalanya didongakkan dan menepuk dadanya bangga. Padahal umurnya baru sepuluh tahun, namun dia sudah merasa
dewasa sekali.
“Berjanjilah
untuk keluar sesegera mungkin setelah bola itu ditemukan,”kata Alea lirih.
“Janji.
Kau tahu? Karena aku ini abangmu, maka aku berhak untuk memimpinmu.”Ilan, masih
dengan kepala mendongak, berjalan mendahului Alea untuk masuk ke gudang. Alea
sebenarnya takut melanggar perintah ayahnya, namun dia ikut saja. Dia berpikir
apa yang dilakukan Ilan selalu benar.
Untuk pertama kalinyalah, mereka
memasuki gudang terlarang itu. Gudang itu berantakan, penuh debu. Alea
memegangi ujung kaos abangnya, merasa was-was. Dia mengedarkan pandangnya,
menemukan bola biru di bawah sebuah meja tua penuh debu. Dia mengambil bola
itu, senang.
“Abang, ayo keluar. Aku sudah
menemukan bolanya.”
“Tunggu.”abangnya malah asyik
dengan benda-benda kuno di sudut ruangan. Alea mengerutkan keningnya.
“Tapi abang tadi sudah jan—”
“Apa ini?”seruan Ilan memutus
perkataan Alea. Alea menghampirinya, dengan penasaran sekaligus takut. Dia
melihat sebuah boneka kecil berbentuk panda yang tampak usang, dipakukan
kakinya pada sebuah kayu bundar. Boneka itu amat menggemaskan meski lusuh.
“Boneka itu lucu. Aku mau,”seru
Alea.
“Nggak. Ayo kita keluar,”Ilan
tidak setuju.
“Aku mau boneka itu,
tolong.”Alea meraba lehernya, melepas kalung sederhana tanpa bandul untuk
disodorkan pada kakaknya. “Ukurannya cocok. Abang tahu? Di sekolah, kalung ini
selalu diejek. Teman-teman menyuruhku membuangnya. Tapi karena kalung ini dari
Ayah, aku tidak mau melepasnya. Tapi tolong pasangkan boneka itu sebagai bandul
kalungku,”Alea merengek.
“Tidak. Sekali tidak tetap
tidak.”Dengan paksa, Ilan menyeret Alea keluar gudang. Alea merengut. Dia
menatap panda itu dengan sayu. Panda itu
tetap berdiri di tempatnya, dengan kaki yang dipakukan ke kayu.
Tapi, satu minggu kemudian,
panda itu telah berpindah tempat—menjadi tergantung-gantung di leher Alea
sebagai bandul. Alea senang, dia punya hiasan kalung dan kalung itu sudah tidak
diejek lagi.
Dan, tanpa dia sadari, ada
seorang murid baru bernama Mile, yang matanya menyala setiap dia melihat Alea.
Alea takut pada Mile, terlebih tatapannya. Bahkan Ruli, seorang temannya
bercerita bahwa Mile bukanlah seorang
manusia.
***
Alea tersengal. Dia tahu
sekarang. Mile bukanlah seorang manusia. Dia seorang penjahat kejam. Alea
meringis ketika kepalanya diputar oleh Milea. Dirinya diangkat tinggi-tinggi
dengan satu tangan. Tatapannya bengis. “Terimakasih sudah membebaskanku.”
Dengan susah payah, Alea
membalas, “Ap-pa maksud-mu?”
“Ya, kau membebaskanku,”Mile
menjilat bibir keringnya. “Tapi aku butuh darah.”
***
Februari 2002, di
rumah sakit kota.
“Kau tahu, Alea?”Ilan berkata
dengan tergesa, napasnya tersengal-sengal. Dia menghirup napas dari tabung
oksigen di ruangan putih tersebut. “Aku ber-mimpi. Mimpi per-tamaku di rumah
sakit. Di mim-pi itu, Ayah be-berkata, ‘aku memakukan kakinya sebab itu dapat
mengurungnya’. Da-dan aku berpi-pikir ka-llau ya-yang di-makh-sud ayah...”
Belum selesai bicara, Ilan sudah
kehilangan kesadaran. Alea memeluknya sambil menangis, panik memencet tombol
pemanggil perawat. Butuh lima detik sebelum perawat-perawat berdatangan. Butuh
sepuluh detik sebelum Ilan benar-benar dinyatakan pergi oleh dokter.
Tinggallah Alea terisak
sendirian di lorong lengang rumah sakit raksasa itu.
***
Alea dibanting lagi. Dia
benar-benar lemas, tubuhnya sakit semua. Kepalanya berputar.
***
Juli 2017, di
kelas.
Alea mengayunkan sapunya.
Debu-debu berterbangan. Alea mengeluh. Hari ini jadwal piketnya bersama Mile.
Sebetulnya Rio juga piket, tapi dia hilang entah kemana.
Sekelebat bayangan melewati
punggung Alea. Alea merasakan punggungnya panas. Dia menoleh, dan mendapati
Mile berubah menjadi monster mengerikan. Dia mengangkat pisau ke arah Alea.
Tanpa berpikir panjang, Alea menghantamkan sapunya ke kepala Mile, lalu lari
secepat kilat ke samping sekolah.
Dia tak mempedulilkan
orang-orang yang menatap heran, yang jelas kakinya terus berpacu. Hingga
memasuki hutan pinus.
***
Alea mengerjapkan mata. Dia
tahu. Dia tahu kelemahan Mile. Aku harus
mengalihkan perhatiannya.
“Alea. Ada salam
terakhir?”Mile mendongakkan wajah Alea dengan satu tangan. Sedang tangan
lainnya mengangkat pisau tinggi-tinggi.
Alea menggigit
bibir, mengumpulkan tenaga.
Mile mendekatkan
wajahnya ke Alea. “Tidak ada? Apa kau yakin?”
Klontang! Pisau
itu ditendang Alea jauh-jauh, dengan sisa tenaganya. Mile meraung marah. Dia
melompat untuk mengambil pisaunya diantara semak-semak. Alea, dengan cepat
menggulingkan diri, menjauh. Dia meletakkan bandul kalungnya tadi di tanah,
merenggut pin dari bajunya, dan dengan cepat menusukkannya ke kaki boneka itu.
Mile yang berhasil
menemukan pisau tadi, dengan cepat berusaha menusukkan pisau itu. Tapi,
bersamaan dnegan Alea yang menusukkan jarum kedua, Mile menghilang, bak bubuk
yang ditiup angin.
Lepas itu, Alea
merasa tubuhnya tidak berdaya. Diiringi dengan embusan angin melalui sela pohon
pinus, matanya terpejam.
0 komentar:
Posting Komentar