Kristal menengadah. Air matanya
hampir tumpah.
Aku udah nggak tahan lagi, ia mengeluh. Aku capek, Tuhan. Tolong aku.
Entah
mengapa, mendadak tubuh Kristal seperti tidak bertulang. Kepalanya ambruk di
meja.
Chantal
yang duduk di barisan depan menoleh ketika mendengar benturan keras. “Astaga,
Kristal! Kamu kenapa?” ia bergegas menghampiri Kristal, yang mulai mengeluarkan
isakan kecil. “Kris? Kamu gapapa?”ia mengguncangkan tubuh Kristal dengan panik.
“Ga-papa.”Kristal
menengadah.
“Matamu
bengkak! Kamu kenapa nangis?”Chantal masih panik.
“Aku
Cuma ngantuk, Chan. Semalam aku ga tidur,”Kristal nyengir lemah, menyeka mata.
“Bohong!
Kalau ngantuk ngapain nangis?”
“Karena
aku capek banget, beneran.”
“Kalau
gitu, tidur di UKS aja,”saran Chantal.
“Iya.
Aku ke UKS dulu. Tolong nanti ijinin ya,”Kristal merapikan buku-bukunya, tapi
dicegah Chantal.
“Aku
aja yang ngeberesin. Kamu ke UKS sana, buruan.”
“Oke,
makasih.”tatapan Kristal tampak meredup. Ia berjalan pelan keluar kelas.
Chantal
tersenyum pada Kristal. Lalu ia mulai membereskan buku-buku Kristal. Ia
menemukan selembar coretan di cover buku Kristal, bertuliskan I’m fine, dengan
model huruf yang aneh. Chantal hanya mengendikkan bahu. Ia hendak menumpuk buku
itu dengan yang lain ketika menyadari sesuatu. Ada bercak darah di ujung buku
itu. Bahkan, darah itu menempel di ujung jari Chantal.
Darah
itu baru.
Detik
itu juga, Chantal merasa tidak nyaman.
Kristal
menggeliat. Terhitung sudah dua jam ia di UKS, tapi tidak kunjung tidur juga.
Padahal matanya sudah mirip sekali dengan panda, ia juga belum tidur semenjak
kemarin, tapi ia tidak bisa tidur juga.
Ugh.
Menyebalkan.
Kristal
meringkuk, memeluk lututnya, teringat kembali malam tadi.
Rumah Kristal, 23.20 p.m.
“Uwaah,
akhirnya drama ini selesai juga. Saatnya tidur,”Kristal bersenandung sambil
mematikan laptopnya. “Lee Jongsuk benar-benar pandai acting,”ia tersenyum lebar
melihat actor favoritnya yang dia jadikan wallpaper laptop. Ia menunggu hingga
laptopnya benar-benar mati, lalu beranjak tidur.
“Suatu
hari nanti, aku akan pergi ke Korea, melihat Jongsuk. Setelah itu, aku akan
menonton konser…”
PRANG!
Mimpi
Kristal terputus.
Terdengar
suara jeritan dan beberapa barang pecah. Kristal tahu betul, suara itu dari
lantai satu. Pasti dari dapur.
Kristal
menggigit bibir. Kali ini suara berang ayahnya terdengar oleh kupingnya.
Ayolah,
bukannya Kristal sudah menutup pintu rapat-rapat? Lalu mengapa suara ayah masih
bisa terdengar?
Kristal
memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi suara-suara dari bawah berebutan menembus
telinganya. Entah benda pecah, bentakan ayah, atau… jeritan mama. Kristal
mendesis demi mendengar semua itu. Ia kelewat lelah mendengar pertengkaran
orangtuanya. Seperti sebuah acara, pertengkaran itu selalu terjadi di malam
hari, dimana orangtuanya berpikir kalau Kristal sudah tidur.
Kristal
menyeringai kecil. Bahkan tiap pagi ayah-mamanya selalu bersikap seolah-olah
tidak ada yang terjadi. Mereka tidak tahu, Kristal sudah mendengar pertengkaran
mereka sejak dua bulan yang lalu. Kristal tidak pernah tidur di malam hari dua
bulan terakhir, karena pertengkaran itu.
Dan,
tiap malam Kristal selalu menangis. Ia benci orangtuanya. Lebih tepatnya, ia
benci pertengkaran orangtuanya.
Tapi
malam ini, air mata Kristal sudah mongering. Ia lelah menangis terus.
Kristal
memejamkan mata lagi, memaksa tidur. Besok ada ulangan matematika, ia tidak
boleh mengantuk di sekolah.
Tapi seperti malam-malam sebelumnya, Kristal tidak bisa tidur. Seperti biasanya, justru
aneh kalau Kristal bisa terlelap di antara pertengkaran orangtuanya.
Kristal
menghela napas, membenamkan diri di bantal UKS. Ia sungguh lelah, ia butuh
tidur.
Kristal
mencengkram sprai UKS berang. “Awh!”Kristal menjerit tertahan.
“Bodoh,”ia
merutuk dalam hati, melihat bercak darah di sprei. Ia mengangkat tangannya,
menemukan bahwa darah masih mengalir dari pergelangan tangannya. Kristal membebat
tangannya dengan jaketnya asal. Lalu ia menyambar bantal untuk menutup
wajahnya.
“Tolong,”bisiknya
di balik bantal. “Aku mau tidur, sebentar saja.”
Chantal
meregangkan tangannya. “Yay, akhirnya selesai matematika. Fiuh.”
“Iya,
iya, yang bisa ngerjain. Meski bisa, gausah sombong gitu dong,”kata Sarah,
teman sebangku Chantal dengan sensi. “Tau ga sih, kamu itu Cuma beruntung
semata, be-lum ja-go.”Sarah menekan kata-katanya. “Bahkan si Kris yang jenius
aja biasa aja dapet seratus.”
“Btw,
tumben Kris ga masuk?”Tya yang duduk di belakang Chantal dan Sarah menyahut.
“Masuk,
kok. Orang ada tasnya,”Bianca menjawab.
“Eh
iya, tadi Kris ke UKS,”Chantal memberi tahu. “Tapi sampai sekarang belum balik.
Mungkin capek banget. Abisnya tadi matanya bengkak, kaya kurang tidur gitu.
Terus dia sempat nangis juga. Waktu kutanya, dia bilang dia capek banget.”
“Oh,
jadi yang numpuk buku-buku Kris itu kamu?”Tanya Tya. “Pantesan berantakan gitu.
Kupikir Kris udah gila.”
Chantal
nyengir. Kristal itu perfeksionis, dia tidak bisa melihat sesuatu berantakan.
Pasti tangannya tergeak untuk merapikan barang-barang, termasuk barang teman-temannya
sekalipun. Chantal dan teman-temannya sering mengira Kristal mengidap antoxphobia (fobia terhadap
ketidakteraturan) karena sifatnya itu.
“Bian,
ngapain kamu?”Tanya Sarah melihat Bianca memberesi buku-buku Kristal.
“Mending
kurapiin aja lah, biar kalau Kristal nggak ngamuk kalau balik,”Bianca menjawab
ringan. Sesaat, Chantal, Sarah, dan Tya hanya melamun sementara Bianca
meneruskan kegiatannya. Makanya, mereka bertiga terlonjak kaget ketika Bianca
berteriak.
“Astaga!
Ini apa, coba!”Bianca membelalak memandangi buku di depannya.
“Apa?
Apa?”Chantal, Sarah dan Tya gedubrakan menghampiri Bianca.
“Loh,
itu kan coretan yang tadi. Kenapa memangnya?”keingintahuan Chantal surut
melihat Bianca yang memegang buku yang covernya ada coretan ‘I’m fine’ yang
tadi dilihatnya.
“Save
me,”Sarah menggumam.
“Save
me? Bukannya I’m fine?”Chantal heran. Ia melihat ke coretan tadi, dan benar
saja. Coretan itu membentuk tulisan save me. Chantal melongo. “Demi apapun,
tadi tulisannya I’m fine.”
“Ah!”Tya
menyambar buku itu, lalu dibaliknya. “Lihat! Tulisannya jadi I’m fine!”
Mata
Chantal, Sarah, dan Bianca membulat. Benar, tulisannya jadi I’m fine sekarang,
seperti yang dibaca Chantal tadi. Chantal membolak-balik buku itu, memastikan
penglihatannya.
“Betul,”katanya,
“Pantesan jenis tulisannya aneh gitu. Ternyata kalau dibalik bisa dibaca.”
“Kris
keren, ya, bisa bikin beginian.”
Keempat
perempuan itu masih mengagumi tulisan Kristal ketika bu Jody datang dengan
tergesa.
“Siapa
yang terakhir melihat Kris? Tolong ikut Ibu ke Rumah sakit.”
Chantal
terperangah. “Ada apa, Bu?”
“Tolong
ikut saya dulu. Nanti saya jelaskan.”
Chantal
akhirnya mengikuti bu Jody. Ia berlari kecil untuk mensejajari langkah lebar
guru bimbingan konselingnya. “Bu Jody!”panggilnya, dengan langkah terengah.
“Tolong jelaskan, Kristal kenapa?”
“Kristal
ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi. Ia menyayat nadinya, dan mencegah
pembekuan darah dengan merendam tangannya di air hangat.”
Mendadak
Chantal menghentikan langkah. Kakinya melemas.
“Kristal…?”air
mata menggenangi pelupuk mata Chantal. “Kok bisa…?”ia menyeka mata, kembali
mengejar bu Jody.
“Kristal
sepertinya memendam banyak masalah di rumah,”bu Jody menghela napas.
“Orangtuanya tidak akur, jadi ia sering stress. Dan Kristal punya kecenderungan
untuk melukai dirinya sendiri,”bu Jody menjelaskan lagi. “Bahkan di tangannya,
ada goresan yang sepertinya dibuat dengan pisau lipat, bertuliskan I’m fine.
Tapi dokter di rumah sakit bilang, di tangannya ada tulisan save me, bukan I’m
fine. Membingungkan.”
Chantal
terhenyak. Tiba-tiba, adegan tadi pagi di sekolah terlintas di benaknya. Begitu
jelas, sehingga rasanya seperti menonton film.
Kelas, 06.00 WIB.
Chantal
memasuki kelas dengan riang. Akhirnya ia bisa berangkat pagi juga. Masih ada
banyak waktu untuk mengerjakan pr.
“Eh,
Kris! Sudah datang?”Chantal menyapa Kristal, satu-satunya teman yang sudah
datang. “kamu mengerjakan peer juga?”
Kristal
memandang spidol di genggamannya sambil tersenyum miring. “Aku Cuma lagi
coret-coret. Yah, kau tahulah, kerjaan orang iseng.”
Chantal
Cuma tertawa. Ia meletakkan tasnya di meja, mulai mengerjakan peer. Tiba-tiba,
selembar kertas cover mendarat di mejanya. “Eh?”Chantal mengambil kertas itu.
“Ini punyamu, Kris?”
“Iya,
makasih.”Kristal mengambil cover itu dari tangan Chantal, tersenyum kecil.
Chantal mengangguk, lalu kembali mengerjakan peer.
5
menit setelah itu, Kristal ambruk di mejanya.
Chantal
mendesis jengkel. Sekarang ia baru menyadari bahwa Kristal sudah memberinya
kode. Cover yang mendarat di mejanya tadi pagi adalah cover yang bertuliskan
I’m fine, save me.
Dan
bodohnya, Chantal sama sekali tidak menyadari itu. tangan Chantal mengepal,
pandangannya memburam karena air mata. Ia kesal sekali pada dirinya sendiri
yang begitu bodoh.
“Chantal?”panggil
bu Jody. “Ayo, operasi Kristal 10 menit lagi. Kita harus sampai di rumah sakit
secepatnya.”
Chantal
mengangguk. Ia harap, ia masih bisa bertemu Kristal lagi.
0 komentar:
Posting Komentar