07 September 2017

Save Me

Kristal menengadah. Air matanya hampir tumpah.
                Aku udah nggak tahan lagi, ia mengeluh. Aku capek, Tuhan. Tolong aku.
                Entah mengapa, mendadak tubuh Kristal seperti tidak bertulang. Kepalanya ambruk di meja.
                Chantal yang duduk di barisan depan menoleh ketika mendengar benturan keras. “Astaga, Kristal! Kamu kenapa?” ia bergegas menghampiri Kristal, yang mulai mengeluarkan isakan kecil. “Kris? Kamu gapapa?”ia mengguncangkan tubuh Kristal dengan panik.
                “Ga-papa.”Kristal menengadah.
                “Matamu bengkak! Kamu kenapa nangis?”Chantal masih panik.
                “Aku Cuma ngantuk, Chan. Semalam aku ga tidur,”Kristal nyengir lemah, menyeka mata.
                “Bohong! Kalau ngantuk ngapain nangis?”
                “Karena aku capek banget, beneran.”
                “Kalau gitu, tidur di UKS aja,”saran Chantal.
                “Iya. Aku ke UKS dulu. Tolong nanti ijinin ya,”Kristal merapikan buku-bukunya, tapi dicegah Chantal.
                “Aku aja yang ngeberesin. Kamu ke UKS sana, buruan.”
                “Oke, makasih.”tatapan Kristal tampak meredup. Ia berjalan pelan keluar kelas.
                Chantal tersenyum pada Kristal. Lalu ia mulai membereskan buku-buku Kristal. Ia menemukan selembar coretan di cover buku Kristal, bertuliskan I’m fine, dengan model huruf yang aneh. Chantal hanya mengendikkan bahu. Ia hendak menumpuk buku itu dengan yang lain ketika menyadari sesuatu. Ada bercak darah di ujung buku itu. Bahkan, darah itu menempel di ujung jari Chantal.
                Darah itu baru.
                Detik itu juga, Chantal merasa tidak nyaman.


              
                Kristal menggeliat. Terhitung sudah dua jam ia di UKS, tapi tidak kunjung tidur juga. Padahal matanya sudah mirip sekali dengan panda, ia juga belum tidur semenjak kemarin, tapi ia tidak bisa tidur juga.
                Ugh. Menyebalkan.
                Kristal meringkuk, memeluk lututnya, teringat kembali malam tadi.
               
Rumah Kristal, 23.20 p.m.
                “Uwaah, akhirnya drama ini selesai juga. Saatnya tidur,”Kristal bersenandung sambil mematikan laptopnya. “Lee Jongsuk benar-benar pandai acting,”ia tersenyum lebar melihat actor favoritnya yang dia jadikan wallpaper laptop. Ia menunggu hingga laptopnya benar-benar mati, lalu beranjak tidur.
                “Suatu hari nanti, aku akan pergi ke Korea, melihat Jongsuk. Setelah itu, aku akan menonton konser…”
                PRANG!
                Mimpi Kristal terputus.
                Terdengar suara jeritan dan beberapa barang pecah. Kristal tahu betul, suara itu dari lantai satu. Pasti dari dapur.
                Kristal menggigit bibir. Kali ini suara berang ayahnya terdengar oleh kupingnya.
                Ayolah, bukannya Kristal sudah menutup pintu rapat-rapat? Lalu mengapa suara ayah masih bisa terdengar?
                Kristal memejamkan mata, berusaha tidur. Tapi suara-suara dari bawah berebutan menembus telinganya. Entah benda pecah, bentakan ayah, atau… jeritan mama. Kristal mendesis demi mendengar semua itu. Ia kelewat lelah mendengar pertengkaran orangtuanya. Seperti sebuah acara, pertengkaran itu selalu terjadi di malam hari, dimana orangtuanya berpikir kalau Kristal sudah tidur.
                Kristal menyeringai kecil. Bahkan tiap pagi ayah-mamanya selalu bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Mereka tidak tahu, Kristal sudah mendengar pertengkaran mereka sejak dua bulan yang lalu. Kristal tidak pernah tidur di malam hari dua bulan terakhir, karena pertengkaran itu.
                Dan, tiap malam Kristal selalu menangis. Ia benci orangtuanya. Lebih tepatnya, ia benci pertengkaran orangtuanya.
                Tapi malam ini, air mata Kristal sudah mongering. Ia lelah menangis terus.
                Kristal memejamkan mata lagi, memaksa tidur. Besok ada ulangan matematika, ia tidak boleh mengantuk di sekolah.
 Tapi seperti malam-malam sebelumnya, Kristal tidak bisa tidur. Seperti biasanya, justru aneh kalau Kristal bisa terlelap di antara pertengkaran orangtuanya.

                Kristal menghela napas, membenamkan diri di bantal UKS. Ia sungguh lelah, ia butuh tidur.
                Kristal mencengkram sprai UKS berang. “Awh!”Kristal menjerit tertahan.
                “Bodoh,”ia merutuk dalam hati, melihat bercak darah di sprei. Ia mengangkat tangannya, menemukan bahwa darah masih mengalir dari pergelangan tangannya. Kristal membebat tangannya dengan jaketnya asal. Lalu ia menyambar bantal untuk menutup wajahnya.
                “Tolong,”bisiknya di balik bantal. “Aku mau tidur, sebentar saja.”

                Chantal meregangkan tangannya. “Yay, akhirnya selesai matematika. Fiuh.”
                “Iya, iya, yang bisa ngerjain. Meski bisa, gausah sombong gitu dong,”kata Sarah, teman sebangku Chantal dengan sensi. “Tau ga sih, kamu itu Cuma beruntung semata, be-lum ja-go.”Sarah menekan kata-katanya. “Bahkan si Kris yang jenius aja biasa aja dapet seratus.”
                “Btw, tumben Kris ga masuk?”Tya yang duduk di belakang Chantal dan Sarah menyahut.
                “Masuk, kok. Orang ada tasnya,”Bianca menjawab.
                “Eh iya, tadi Kris ke UKS,”Chantal memberi tahu. “Tapi sampai sekarang belum balik. Mungkin capek banget. Abisnya tadi matanya bengkak, kaya kurang tidur gitu. Terus dia sempat nangis juga. Waktu kutanya, dia bilang dia capek banget.”
                “Oh, jadi yang numpuk buku-buku Kris itu kamu?”Tanya Tya. “Pantesan berantakan gitu. Kupikir Kris udah gila.”
                Chantal nyengir. Kristal itu perfeksionis, dia tidak bisa melihat sesuatu berantakan. Pasti tangannya tergeak untuk merapikan barang-barang, termasuk barang teman-temannya sekalipun. Chantal dan teman-temannya sering mengira Kristal mengidap antoxphobia (fobia terhadap ketidakteraturan) karena sifatnya itu.
                “Bian, ngapain kamu?”Tanya Sarah melihat Bianca memberesi buku-buku Kristal.
                “Mending kurapiin aja lah, biar kalau Kristal nggak ngamuk kalau balik,”Bianca menjawab ringan. Sesaat, Chantal, Sarah, dan Tya hanya melamun sementara Bianca meneruskan kegiatannya. Makanya, mereka bertiga terlonjak kaget ketika Bianca berteriak.
                “Astaga! Ini apa, coba!”Bianca membelalak memandangi buku di depannya.
                “Apa? Apa?”Chantal, Sarah dan Tya gedubrakan menghampiri Bianca.
                “Loh, itu kan coretan yang tadi. Kenapa memangnya?”keingintahuan Chantal surut melihat Bianca yang memegang buku yang covernya ada coretan ‘I’m fine’ yang tadi dilihatnya.
                “Save me,”Sarah menggumam.
                “Save me? Bukannya I’m fine?”Chantal heran. Ia melihat ke coretan tadi, dan benar saja. Coretan itu membentuk tulisan save me. Chantal melongo. “Demi apapun, tadi tulisannya I’m fine.”
                “Ah!”Tya menyambar buku itu, lalu dibaliknya. “Lihat! Tulisannya jadi I’m fine!”
                Mata Chantal, Sarah, dan Bianca membulat. Benar, tulisannya jadi I’m fine sekarang, seperti yang dibaca Chantal tadi. Chantal membolak-balik buku itu, memastikan penglihatannya.
                “Betul,”katanya, “Pantesan jenis tulisannya aneh gitu. Ternyata kalau dibalik bisa dibaca.”
                “Kris keren, ya, bisa bikin beginian.”
                Keempat perempuan itu masih mengagumi tulisan Kristal ketika bu Jody datang dengan tergesa.
                “Siapa yang terakhir melihat Kris? Tolong ikut Ibu ke Rumah sakit.”
                Chantal terperangah. “Ada apa, Bu?”
                “Tolong ikut saya dulu. Nanti saya jelaskan.”
                Chantal akhirnya mengikuti bu Jody. Ia berlari kecil untuk mensejajari langkah lebar guru bimbingan konselingnya. “Bu Jody!”panggilnya, dengan langkah terengah. “Tolong jelaskan, Kristal kenapa?”
                “Kristal ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi. Ia menyayat nadinya, dan mencegah pembekuan darah dengan merendam tangannya di air hangat.”
                Mendadak Chantal menghentikan langkah. Kakinya melemas.
                “Kristal…?”air mata menggenangi pelupuk mata Chantal. “Kok bisa…?”ia menyeka mata, kembali mengejar bu Jody.
                “Kristal sepertinya memendam banyak masalah di rumah,”bu Jody menghela napas. “Orangtuanya tidak akur, jadi ia sering stress. Dan Kristal punya kecenderungan untuk melukai dirinya sendiri,”bu Jody menjelaskan lagi. “Bahkan di tangannya, ada goresan yang sepertinya dibuat dengan pisau lipat, bertuliskan I’m fine. Tapi dokter di rumah sakit bilang, di tangannya ada tulisan save me, bukan I’m fine. Membingungkan.”
                Chantal terhenyak. Tiba-tiba, adegan tadi pagi di sekolah terlintas di benaknya. Begitu jelas, sehingga rasanya seperti menonton film.

Kelas, 06.00 WIB.
                Chantal memasuki kelas dengan riang. Akhirnya ia bisa berangkat pagi juga. Masih ada banyak waktu untuk mengerjakan pr.
                “Eh, Kris! Sudah datang?”Chantal menyapa Kristal, satu-satunya teman yang sudah datang. “kamu mengerjakan peer juga?”
                Kristal memandang spidol di genggamannya sambil tersenyum miring. “Aku Cuma lagi coret-coret. Yah, kau tahulah, kerjaan orang iseng.”
                Chantal Cuma tertawa. Ia meletakkan tasnya di meja, mulai mengerjakan peer. Tiba-tiba, selembar kertas cover mendarat di mejanya. “Eh?”Chantal mengambil kertas itu. “Ini punyamu, Kris?”
                “Iya, makasih.”Kristal mengambil cover itu dari tangan Chantal, tersenyum kecil. Chantal mengangguk, lalu kembali mengerjakan peer.
                5 menit setelah itu, Kristal ambruk di mejanya.

                Chantal mendesis jengkel. Sekarang ia baru menyadari bahwa Kristal sudah memberinya kode. Cover yang mendarat di mejanya tadi pagi adalah cover yang bertuliskan I’m fine, save me.
                Dan bodohnya, Chantal sama sekali tidak menyadari itu. tangan Chantal mengepal, pandangannya memburam karena air mata. Ia kesal sekali pada dirinya sendiri yang begitu bodoh.
                “Chantal?”panggil bu Jody. “Ayo, operasi Kristal 10 menit lagi. Kita harus sampai di rumah sakit secepatnya.”
                Chantal mengangguk. Ia harap, ia masih bisa bertemu Kristal lagi.
                 

               






0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates