14 Februari 2016

Bersama dik Adhan Menuju Pekalongan

Tanggal 8 Februari kebetulan tanggal merah peringatan Imlek. Papa berniat berkunjung nengok simbah. Dik Adhan ditawari, ikut atau nggak, langsung saja ikut karena naik kereta. Jadi cuma berdua ke pekalongan. Berangkat hari Sabtu pagi. Meski cuma berdua, perjalanan sungguh menyenangkan karena dik Adhan sama sekali ga rewel.

Sampai saat ini tetap menikmati serunga berkereta dari stasiun purwosari. Berangkat habis subuh dengan perlengkapan secukupnya. Semua berjalan sesuai yang direncanakan dan seperti biasanya. Adik di kereta kalijogo minta disuapin.

wefie di Stasiun Poncol
Prediksi papa pas berangkat akan cukup penuh sebab hari Senin merupakan hari libur. Ternyata meski ramai, tidak semua kursi terisi. Kami sendiri untuk mengantisipasi tidak dapat tiket, sudah membeli tiket PP sehingga tidak was-was tidak kebagian tiket. Rupanya antrian di stasiun Poncol cukup banyak. Ah lega rasanya sudah memegang tiket sehingga kami bisa langsung masuk ke ruang tunggu dan naik kaligung.

Pas mau sampai stasiun pekalongan, adik malah ngantuk bahkan sempat terlelap. Sama papa langsung dibangunkan dan turun kereta. Daripada kelamaan naik bus, papa memilih naik ojek ke rumah mbah.

Ternyata om sekeluarga ada acara di kota, wah mestinya malah bisa dijemput yah. Dirumah mbah, selama 2 hari adik sama sekali tidak rewel. Mandiri dan tidak merepotkan. Malam minggu kami sempat jalan ke kota bersama om sekeluarga maupun simbah. Senin, papa dan dik adhan kembali ke solo. Sekali lagi, perjalanan yang selalu menyenangkan dan tak membosankan.

Memang dibandingkan berkendara selain kereta, nampaknya bukan pilihan yang tepat. Sekarang naik kereta meski harga terjangkau namun pelayanan dan waktu bisa diandalkan. Tidak seperti jaman dulu naik kereta maupun naik bus umum sama-sama tersiksa.


10 Februari 2016

Lelaki Misterius (bagian 2)



Entah sebab apa Dino terus memandang laki-laki itu. Orangnya kekar. Seperti tokoh film penjahat. Tubuhnya besar sekali. Pasti ia kuat menggendong tiga galon sekaligus, batin Dino. Tapi ada yang mencurigakan...
Sret! Lelaki itu menoleh, menatap Dino yang sedang memperhatikannya. Otomatis Dino memalingkan wajahnya, malu karena terpergok memerhatikan orang. Meskipun sudah tidak memandang lelaki itu, Dino bisa merasakan tatapan tajam orang itu.
“Kenapa Dino? Mukamu sedikit pucat.”Dino hanya nyengir ditanya begitu oleh Andin. Tentu dia tidak menceritakan tentang sosok yang dia amati tadi. Nanti Andin malah memperhatikannya dan orang besar itu tambah marah.

Dino meneruskan makannya dengan jantung yang berdegup keras. Ia hanya mengangguk ketika Andin menceritakan tentang fakta laut (yang sebenarnya sudah ia ketahui), dan menggeleng ketika ditawari ikan teri yang menurut Andin rasanya asin sekali. Yah, Dino kan sedang menenangkan jantungnya.
Karena penasaran, Dino mencoba mengangkat mukanya sedikit. Ia ingin melihat laki-laki kekar itu sebentar. Tapi aneh. Lelaki itu menghilang! Tanpa malu lagi, Dino mencari lelaki itu terang-terangan. Ah, itu dia! Lelaku itu sedang berlari, punggungnya terlihat kecil di kejauhan. Apa yang terjadi? Kenapa dia berlari? Batin Dino bertanya-tanya.

“Aaa!”teriakan melengking dari ibu-ibu yang berjarak 1 meter dari tempat Doni duduk mengagetkannya. Dino dan Andin berpaling, si ibu-ibu gendut tadi rupanya yang berteriak. Ia tampak ketakutan, sementara anak kecilnya memandangnya bingung
“Ada apa Bu?”beberapa orang menanyainya bersamaan.
“Dompet! Dompet saya hilang!”
“Hah?”Andin dan Dino bertatapan. Jangan-jangan... sekelebat pikiran terbersit di benak Dino. Ia teringat lelaki tadi. Laki-laki berjaket kulit yang berbadan besar, yang memandang lautan. Lelaki yang diamatinya. Lelaki yang menatapnya tajam.

Ia ingat sosok itu berlari menjauh. Jangan-jangan... lelaki itu...
Andin mengguncangkan badannya. “Dino, ada apa? Mukamu pucat sekali. Dino!”
Dino mengerjapkan matanya. Ia mengajak saudara kembarnya ke pinggir kapal. Disitu ia menceritakan sosok lelaki misterius yang dilihatnya. Dia ceritakan semua tanpa ada bumbu-bumbu. Tapi, kecurigaannya belum dia tambahkan. “Terus? Apa hubungannya sama ibu yang kehilangan dompet itu?”Andin belum paham rupanya. Dino menghela napas.

“Tapi ini Cuma dugaanku saja ya Ndin... Lelaki itu pencurinya!”
“Hah?!”Dino menutup mulut Andin. “Ma-masa sih?”
“Sst, jangan bilang siapa-siapa, ini Cuma dugaanku saja. Habis orangnya seram sih. Kalau melihatnya, kau akan kuberi tahu. Biar kamu menilai sendiri bagaimana orangnya.”Andin hanya mengangguk. “Sungguhan ya, kamu jangan bilang siapa-siapa.”

“Paman juga tidak?”
“Paman juga jangan dibilangi. Ini Cuma dugaanku saja, nanti Paman marah. Disangkanya aku menduga-duga sembarangan.”ujar Dino. “Eh, itu Paman Husin! Paman!”Dino menghampiri pamannya yang tampak bingung mencari-cari mereka. Paman Husin diseret Dino ke tempat Andin.
“Kalian ini, Paman mencari kalian terus dari tadi! Kalau hilang bagaimana!”paman tampak jengkel, juga khawatir. “Kalian bilang hanya jalan-jalan, tapi tidak bilang mampir di kantin. Sudah makan pula!”diliriknya piring kosong Dino dan Andin.

“Maaf Paman, jangan marah. Paman makan dulu saja.”kata Dino.
“Iya, makanannya sedap lho Paman. Andin temani ya?”tawar Andin. Paman menggeleng, lebih memilih mengambil makan sendiri. Ia berpesan pada kedua keponakannya agar tetap menunggu disitu, sementara ia mengambil makanan. Andin dan Dino hanya mengangguk, takut dimarahi lagi.
“Ndin, coba tanya Ibu yang kehilangan dompet tadi yuk!”ajak Dino. Tapi Andin menggeleng. Nanti dimarahi paman, dia memberi alasan. “Ayolah Ndin, kita main detektif.”tapi tetap saja Andin bersikeras tidak mau. Terpaksa Dino sendiri yang pergi. Ia menjalankan tugas pertama sebagai detektif Dino!

Template by:

Free Blog Templates