17 November 2016

Boneka Panda (Horor) I



 Alea memaksakan kakinya untuk tetap berlari. Dia berlari secepat yang dia bisa, sambil berusaha mengontrol napas. Inhaler yang sudah dia pasang di depan hidungnya tidak ada pengaruhnya, karena toh Alea bernapas dengan mulut. Alea merasa putus asa. Napasnya makin pendek-pebnmmndek. Pandangannya mulai buram.
                “RRRRR,”
                Please, jangan. Jangan.”Alea komat-kamit. Dia makin mempercepat larinya, meski rasanya jantung mencelos, siap meledak. Dia sudah melewati banyak sekali pohon pinus hari ini. Awalnya dia takut tersesat, tapi apa daya. Tanpa dia sadari, kakinya terbelit pada sebuah sulur pohon dan otomatis dia terjatuh.
                Bruk!
                “Tuhan,”keluh Alea. Inhalernya menggelinding jauh.  Air matanya keluar, bercampur keringat yang menderas. Dia benar-benar tidak kuat. Asmanya begitu kuat mengikat paru-parunya. Dia menunduk, berusaha mengontrol napas. Sebuah boneka berbentuk panda lusuh yang dia jadikan bandul kalung terjatuh. Alea mencengkram boneka itu, berusaha berdiri. Dia bisa merasakan derap kaki itu bertambah suaranya, mendekat. Alea yang akan berlari jatuh lagi. Ah, kakinya masih terbelit sulur. Dengan tergesa, ditariknya sulur itu, tapi tangannya malah berdarah oleh sulur tajam tersebut.
                “RRAAAAA!”tiba-tiba sebuah tangan mencekik lehernya, kuat. Alea makin kehabisan napas. Dia megap-megap ketika tubuhnya dibanting dalam satu gerakan.
                “Jangan, Mile. Jangan...”Alea terisak. Mile, orang yang mencekik lehernya tadi menghunuskan pisau. Hidupnya benar-benar di ujung tanduk.
                “Mile, tolong...”Alea mengusap keningnya. Dia menyeka matanya, menunduk. Jangan lihat, Alea. Lebih baik mati melihat tanah, daripada melihat mata pembunuh itu. Alea mengepalkan tangannya, dan menyadari bahwa boneka tadi teremas. Alea tertegun menatap boneka itu. Lebih tepatnya, kaki boneka itu. Kaki itu berlubang, terlihat bekas kekuningan di sekitar lubang itu. Lubang itu....
***
Desember 1998.
                “Tangkap bola ini!”Ilan, kakak Alea melemparkan bola karet yang lentur. Alea kecil melompat tinggi-tinggi, tapi bola itu tidak tertangkap olehnya. Malah, bola biru itu melewati jendela gudang rumah mereka dan masuk gudang. Terdengar bunyi kelontangan.
                “Alea payah.”Ilan bergegas masuk gudang, namun dia dihalangi Alea.
                “Kata Ayah, kita dilarang masuk gudang,”dengan mata besarnya, Alea membentangkan tangannya.
                “Tapi bolanya masuk. Sudahlah. Ayah melarang kita dua tahun yang lalu. Waktu itu aku masih kecil. Karena sekarang aku sudah besar, aku berhak masuk gudang itu,”kata Ilan congkak. Kepalanya didongakkan dan menepuk dadanya bangga. Padahal umurnya  baru sepuluh tahun, namun dia sudah merasa dewasa sekali.
“Berjanjilah untuk keluar sesegera mungkin setelah bola itu ditemukan,”kata Alea lirih.
“Janji. Kau tahu? Karena aku ini abangmu, maka aku berhak untuk memimpinmu.”Ilan, masih dengan kepala mendongak, berjalan mendahului Alea untuk masuk ke gudang. Alea sebenarnya takut melanggar perintah ayahnya, namun dia ikut saja. Dia berpikir apa yang dilakukan Ilan selalu benar.
                Untuk pertama kalinyalah, mereka memasuki gudang terlarang itu. Gudang itu berantakan, penuh debu. Alea memegangi ujung kaos abangnya, merasa was-was. Dia mengedarkan pandangnya, menemukan bola biru di bawah sebuah meja tua penuh debu. Dia mengambil bola itu, senang.
                “Abang, ayo keluar. Aku sudah menemukan bolanya.”
                “Tunggu.”abangnya malah asyik dengan benda-benda kuno di sudut ruangan. Alea mengerutkan keningnya.
                “Tapi abang tadi sudah jan—”
                “Apa ini?”seruan Ilan memutus perkataan Alea. Alea menghampirinya, dengan penasaran sekaligus takut. Dia melihat sebuah boneka kecil berbentuk panda yang tampak usang, dipakukan kakinya pada sebuah kayu bundar. Boneka itu amat menggemaskan meski lusuh.
                “Boneka itu lucu. Aku mau,”seru Alea.
                “Nggak. Ayo kita keluar,”Ilan tidak setuju.
                “Aku mau boneka itu, tolong.”Alea meraba lehernya, melepas kalung sederhana tanpa bandul untuk disodorkan pada kakaknya. “Ukurannya cocok. Abang tahu? Di sekolah, kalung ini selalu diejek. Teman-teman menyuruhku membuangnya. Tapi karena kalung ini dari Ayah, aku tidak mau melepasnya. Tapi tolong pasangkan boneka itu sebagai bandul kalungku,”Alea merengek.
                “Tidak. Sekali tidak tetap tidak.”Dengan paksa, Ilan menyeret Alea keluar gudang. Alea merengut. Dia menatap panda itu dengan sayu.  Panda itu tetap berdiri di tempatnya, dengan kaki yang dipakukan ke kayu.
                Tapi, satu minggu kemudian, panda itu telah berpindah tempat—menjadi tergantung-gantung di leher Alea sebagai bandul. Alea senang, dia punya hiasan kalung dan kalung itu sudah tidak diejek lagi.
                Dan, tanpa dia sadari, ada seorang murid baru bernama Mile, yang matanya menyala setiap dia melihat Alea. Alea takut pada Mile, terlebih tatapannya. Bahkan Ruli, seorang temannya bercerita bahwa Mile  bukanlah seorang manusia. (bersambung)

Template by:

Free Blog Templates