07 Juni 2017

Lari Keira

            “Keira, kamu nggak papa?”
Wajah Keira memucat. Matahari yang bersinar terik membuat keringat sebesar biji jagung mengalir melewati pelipisnya. Dia menyekanya.
“Biar aku antar pulang ya?”
Keira tercekat. Mendengar kata pulang, di benaknya langsung terngiang mamanya, atau lebih tepatnya wanita yang memaksa dipanggil mama yang membentak-bentak Ace dan ia tadi pagi. Mama itu bahkan melempar piring pada Ace. Dan saat Keira menggapainya, piring yang lain menyusul ‘terbang’. Pecahannya menggores lengannya, tapi dia bersyukur Ace baik-baik saja. Keira merasa frustrasi saat di rumah, dan ia jadi membenci kata pulang. Ia ingin lari dari kehidupannya. Ia ingin lari dari mamanya yang menjemukkan.
Ia beruntung bisa mengantar Ace hingga selamat ke taman kanak-kanaknya pagi itu. Setidaknya, guru-guru Ace bisa menjaga Ace hingga waktu pulang tiba.
Tunggu, mata Keira membulat. Hari ini ia ada kegiatan ekstrakulikuler hingga sore, dan taman kanak-kanak Ace tutup pada jam dua siang. Bagaimana bila guru Ace menelepon ke rumah, lalu mama menjemput Ace?
Bolos.
Keira tergugah. Ya, bolos adalah satu-satunya jalan yang paling tepat. Ia akan bolos ekstrakulikuler, bahkan ia akan bolos pada pelajaran terakhir. Demi Ace.
“Keira!”
Keira mengerjapkan mata. Lamunannya buyar.  “Y-Ya?”
“Kamu pasti sakit banget, sampai melamun gitu,”Tsabita mencondongkan badan dengan ekspresi khawatir. Ia menempelkan punggung tangannya pada kening Keira. “Tuh kan! Sepertinya kamu demam.”
“Pulang saja Kei, ketimbang kamu pingsan di sekolah,”Zara mengibaskan topi upacaranya. Ia menggamit lengan Keira, “Ayo minta ijin ke BK.”
Saat Keira berpikir bahwa tidak mungkin BK yang kejam itu memperbolehkannya pulang, Tsabita menarik mereka dengan bingung. “Zara, ruang BK di sebelah sana. Kamu melawan arus.”
Zara berbalik, menyeringai. “Ayolah, jangan bilang kau berpikir aku akan ke BK sungguhan.”
“Apa? Lalu, kemana?”Tanya Keira.
            Zara mengedip, “Ikuti saja aku.”
***
            “LARI, KEIRAA! TERUSLAH BERJUANG!”Tsabita berteriak. “JANGAN MENGKHAWATIRKAN APAPUN, LARILAH!”sekarang suaranya seperti tikus terjepit pintu.
            Keira terengah-engah, menoleh ke belakang. Jantungnya semakin berpacu ketika melihat Mang Edi, satpam sekolahnya, berhasil menangkap Tsabita. Keira menggigit bibir, mempercepat lajunya. Ia mengeluh dalam hati, kenapa baru beberapa meter mereka sudah tertangkap. Lagipula, bagaimana mang Edi tahu kalau mereka lari dari sekolah? Padahal mereka sudah berhati-hati memanjat pagar. Banyak hal berkecamuk di pikiran Keira sementara kakinya terus berderap. Beberapa detik kemudian, ia mendengar jeritan Zara. Keira memalingkan muka ke belakang. Mang Edi telah berhasil meraih tas Zara.
            “Zara!”Keira melotot, memperlambat lari. Zara menendang tangan Mang Edi yang menarik tali ranselnya, tapi Mang Edi malah menangkap sepatunya yang terlepas ke udara. “Oh my Gosh, sepatu dua jutakuuu!”Zara menggapai sepatunya.
            “Nanti saya kembalikan di sekolah!”seru mang Edi. Zara mengerucutkan bibir. Tapi sejurus kemudian ia menghadap Keira, membentuk toa dengan kedua tangannya, 
            “LARI, KEIRA! BIARKAN AKU DAN TSABITA DIGELANDANG KE BK! KAMI BAIK-BAIK SAJA, PERCAYALAH!”teriakan Zara mengambang di udara sekitar Keira. Keira seperti dikejutkan dengan listrik, ia menyadari tak ada gunanya menyerahkan diri untuk dibawa ke BK. Ia harus berlari, menghindari mang Edi, dan menjemput Ace.
            Maka Keira sudah berlari lagi sepersekian detik kemudian, sengaja melewati pasar yang ramai. Tentu saja mang Edi susah mengejarnya. Mang Edi memperingatkan hukuman yang akan diterima, tapi Keira tidak peduli. Ditangkap sekarang atau nanti, aku tetap akan dapat hukuman, kok.
***
Keira sampai di sekolah Ace setengah jam kemudian dengan kondisi mengenaskan. Kulitnya berminyak karena keringat. Belum lagi rambutnya. Ia mengikat rambut dengan asal-asalan sebelum masuk ke sekolah Ace.
Ketika berbelok di sebuah lorong, Keira tertegun. Ace digandeng orang lain. Langkahnya riang, hingga tas birunya seakan ikut melompat-lompat. Tangannya mengepal. Tidak boleh ada orang yang menyentuh Ace-nya.
Setelah ini, Keira akan memikirkan bagaimana caranya lari bersama Ace, tapi sekarang Ace malah digandeng orang lain.
Keira maju, menghampiri Ace dan orang itu dengan marah. Ia menarik Ace hingga genggaman orang tadi terlepas. Keira langsung memeluk Ace erat-erat. “Maaf, ini adik saya dan Anda tidak berhak—”
Suara Keira tersangkut di tenggorokan begitu ia menengadah. Rahangnya terasa jatuh. Lututnya melemas hingga ia jatuh terduduk.
Di depannya berdiri orang itu. Orang yang ia pikir asing sama sekali, tapi nyatanya tidak. Lihatlah, lihatlah mukanya. Mukanya begitu mirip dengan Keira. Seperti Keira di masa depan. Perbedaanya hanyalah pada kerut-kerut wajah, karena factor usia. Bahkan tinggi mereka sepantaran.
“Kau—”Keira terbata-bata. “Papa bilang kau sudah meninggal.”
            “Keira, ya?”Air mata menggenang di mata Keira versi dewasa itu. “Kau bilang kau adalah kakaknya Ace, kan? Berarti, kau Keira, ya?”suara lembut itu menggetarkan hati Keira. Napas Keira tersendat. Suara itu…. Sama dengan suara di teddy bearnya. Suara yang sama ketika Keira menekan bentuk hati pada Teddy Bearnya. Suara yang selalu didengarnya sebelum tidur. Suara yang mengatakan ‘I love you, my Baby Bear’ berulang-ulang.
            Suara yang kata Papa, adalah suara mama aslinya.
            Keira masih tidak bergerak. Pikirannya kalut.
            “Mama,”Ace membebaskan diri dari pelukan Keira, dan memeluk ‘Keira dewasa’ itu, sementara si Keira dewasa sibuk menyeka air matanya sendiri, terisak memeluk Ace.
            Ta-tapi, mengapa Ace kelihatannya dekat sekali dengan orang itu? 
“Ma-Mama menjadi guru TK disini,”si Keira dewasa masih menyeka air matanya yang terus keluar. “Sejak awal Mama merasa ada sesuatu pada Ace. Mama pernah mengikutinya saat pulang, dan ternyata betul dugaan Mama, Ace adalah anak Mama yang dibawa Papamu. Papamu tahu Mama disini dan mengijinkan Mama bersama Ace terus. Dan Mama selalu bersama Ace di sekolah, Mama barumu mengetahuinya,”penjelasan mengalir dari Keira dewasa itu. Ia mengelus pipi Ace dengan sayang, sementara Ace mulai tertidur di pangkuannya. “Tapi Mama tidak pernah menduga akan bertemu denganmu. Papamu melarang Mama menemani Ace saat menunggu jemputannya.”
Keira meneguk ludah. Sulit baginya untuk memercayai semua ini. Yah, meski wajahnya mirip sekali dengan wajah mama itu.
“Ternyata, kamu sudah besar sekali sekarang. Tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar. Mama bangga,”mama tersenyum tulus, menghapus sisa air matanya. Keira menggigit bibir. Hatinya meronta ingin memeluk mamanya, tapi tangannya berat sekali, tidak mau bergeser sesentipun.
“Maafkan Mama, tidak bisa mendampingimu tumbuh. Maafkan Mama, tidak bisa mengambil hak asuh dari Papamu,”mata mama basah kembali. “Maafkan Mama… hanya bisa menemani lewat Teddy Bear itu.”
Kalimat terakhir mendorong tubuh Keira maju. Tiba-tiba saja Keira sudah memeluk mamanya, erat, dan menangis di lengannya. Beban pikirannya mengalir perlahan lewat air matanya.
“Ma… ijinkan aku tinggal denganmu,”bisik Keira.
“Tentu saja, Baby Bear.”
Kalimat terakhir mama membawa beban terakhir Keira pergi. Keira tersenyum, memeluk mamanya lebih erat. Ia tidak perlu lari kemanapun juga kali ini. Ia akan aman bersama mamanya.






Template by:

Free Blog Templates