19 Agustus 2010

Mukti Siji Mukti Kabeh

Kepulangan yang sungguh menyita emosi jiwa dan kebahagiaan luar biasa. Rasa kangen, rindu dan harapan memuncak saat kami bertemu pukul 20.20 dirumah. Pelukan-pelukan kecil nan hangat benar-benar kunikmati. Yang paling jelas terpancar mbak Alma, matanya berbinar dan langsung basah seraya mengetatkan pelukannya dipinggangku. Sementara sang kakak langsung menerocos menanyakan naik apa, jam berapa datang, lama ga nunggunya. Sedangkan si kecil justru reaksinya terbalik, merengek menggapai sang mama dan segera menuju peraduan melepas kantuk. Aku harus memahami dan memakluminya.

Cerita-cerita mereka mengalir hingga pukul 22.50 dan sulit kuminta berhenti bagai detik waktu yang terus berjalan. Ah, damai benar jiwa, hati, rasa juga raga ini. Bergantian kakak adik kupeluk dan kucium dengan hangat. Benar, tak pernah bisa merasa puas jika tak tiap hari bersama mereka. Tidak sekedar melepas lelah, letih atau rasa rindu. Mamanya kubiarkan ikut mendengarkan sembari sesekali bolak balik ke kamar menengok si kecil. Aku merasa mereka mulai tumbuh menjadi anak yang luar biasa bagi kami. Meski tiap hari ku telp, tetap saja obrolan mereka bagaikan senandung merdu dari seniman.

Sang kakak, Afin mulai tumbuh besar dan menyukai hal-hal yang membuahkan pikiran, gagasan dan lontaran yang kadang ga disangka. Rupanya pola pikirnya semakin berkembang menjadi bagus dan langsung terpikir betapa bertambah hari akan jadi brillian nih anak. Itu tentu harapan kami semua. Emosinya juga semakin terkontrol dan berdasarkan penuturannya "susah banget e pah ga marah itu". Kupacu terus agar hal semacam itu dipertahankan dan tetap dijaga. Hal sebaliknya terjadi sebelumnya. Emosi terus memuncak dan nada keras sering terlontar dari mulutnya. Dari cara komunikasi yang dibangun juga sudah bergeser. Dua anak kecil tetangga kami respek padanya.

Pun demikian ketika sahur tiba. Jarang (kata mamanya) membangunkan lebih dari 3 kali. Bahkan saking besar niatnya, di minggu pertama dibangunkan 3 malam itu karena tidur jam 23.00. Bahkan pernah sampai pukul 00.30 sehingga agak berat membangunkannya. Untung papa kalian dirumah jadi bisa digendong dan dirayu supaya segera sahur. Satu hal yang menjadi apresiasi kami yakni amarahnya yang sama sekali tak muncul. Alhamdulillah, kami bersyukur atas itu. Membandingkan dengan puasa sebelumnya akan sangat jauh berubah. Termasuk minatnya ikut TPA. Kami sendiri tak memaksanya karena ngajinya juga udah bagus dan bila memilih bermain, kami tak akan bereaksi. Perubahan yang mendasar.

Si cantik, Alma secara umum tidak berubah termasuk sikap dan semangatnya. Masih malu-malu dan kadang meledak bila bersinggungan dengan sang kakak. Selama papa dirumah untungnya ga banyak senggolan sehingga ga banyak amarah bahkan tangis berurai. Ceritanya masih tetap runtut, pelan, plus ekspresi malu-malu. Yang paling dia suka adalah mengungkapkan perasaannya pada diriku. Tanpa malu selalu mendekap kuat, erat dan lama lepas. Masih suka berlama-lama bercerita apa yang dia lakukan di sekolah, untuk bundanya atau adiknya. Pulang kali ini, aku dikagetkan dengan model poninya yang sama seperti saat masih kecil.

Beberapa kegiatan baru yang disukainya seperti mainan camera, ambil gambar segala macem. Mulai adiknya ketawa, siaran tv, bunga, burung, motor dan segala hal. Sudah dua tahunan dia sudah mandiri dan banyak mengerjakan segala sesuatu sendiri. Di rumah tanpa ada temanpun bagi mbak Alma bukan sebuah aktivitas menakutkan. Senyum ataupun dekiknya selalu membuatku ingin terus bersamanya. Si kecil pun ditungguin si kakak ini juga ga pernah bermasalah sebab memang sering membuat dek adhan tertawa terpingkal-pingkal. Soal tanggungjawab memang lebih unggul hanya saja memang manjanya harus dikurangi.

Yang paling kecil, Adhan. Responnya masih sama ketika mata kami bertatapan. Menangis dan mendekati ibunya. Yah meski hati sakit, aku faham atas ketidakmengertiannya. Kadang kupaksa juga untuk ikut diriku meski nangis. Mau gimana lagi, kangen yang tak terkira membuat aku nekad mengajaknya. Setidaknya sekarang aku tahu trik supaya si kecil tidak menangis kalau aku ajak yakni mencari si pus di depan rumah atau diajak naik motor. Tidak hanya diam tapi juga aktif bicara maupun gerak bila diajak jalan keluar rumah. Model rambutnya paling beda diantara kedua kakaknya.

Senyumnya, dekiknya maupun reaksinya saat mata terpejam mencari sumber air bagi dahaganya sangat lekat dalam ingatanku. Bau khas dirinya juga terpatri kuat dalam otak dan hidungku. Ada beberapa hal yang hingga kini membuat mamanya cukup gelisah. Gerakan motoriknya masih sangat terbatas meski badannya tidak masuk kategori gendut. Aku mengingatkannya untuk terus melatih dan merangsang motoriknya. Sampai sekarang penasaranku padanya belum hilang karena ku belum mampu membuatnya tertawa lepas. Ketegangan atau mengalihkan pandangan bila sedang bersamaku.

Begitulah kondisi ketiga anakku setelah hampir setahun belakangan ini bertemu denganku hanya sebulan sekali. Itupun dengan kondisi yang kadang tidak mudah, sering dengan tingkat emosi yang tidak stabil. Beruntung memiliki istri yang mau mengerti, mensupport, sabar dan segalanya lah sehingga anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang menarik tidak hanya fisiknya namun juga jiwanya. Istri yang selalu setia, hangat, manis dan menenangkan jiwaku. Keluarga kami masih terus berharap agar kebahagiaan yang hadir akan bertahan hingga nyawa memisahkan kami.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates